Kenapa sih kita harus sembahyang…?, Karena kita percaya Tuhan itu ada, Tuhan menciptakan Alam beserta isinya termasuk kita, menciptakan, segala yang kita miliki saat ini.
Adakah manfaat lain dari sembahyang…
Banyak sekali: dengan melakukan persembahyangan secara rutin, kita sudah mengurangi peluang untuk berfikir, berkata dan berbuat yang tidak benar. Pada saat pikiran itu tenang maka mudah dikonsentrasikan energi untuk menyelesaikan kegiatan sehari-hari.
Berikut penjelasan lebih lengkap tentang Makna sembahyang dari sesepuh kita Pak Titib. Hormat titiang ring Pak Titib.
MAKNA SEMBAHYANG SEHARI-HARI
Prof. Dr. I Made Titib, Ph. D
Ananyaú cintayanto màm ye janàá pary upàsate,
teûaý nityàbhiyuktànàm yogakûemaý vahamy aham.
Bhagavadgita IX.22.
(Mereka yang memuja Aku sendiri, mengingat Aku selalu,
kepada mereka Aku bawakan apa yang mereka perlukan
dan akan Aku lindungi apa yang mereka miliki)
Pendahuluan
Hidup manusia tidak selamanya manis, enak dan menyenangkan, tetapi terkadang juga mengalami pasang surut laksana gelombang di tepi laut. Dalam pasang surut kehidupan seseorang yang tidak memiliki pegangan akan terhempas dan mungkin terjerembab ke dasar lautan. Hidup dan kehidupan mestinya dinikmati bagaikan seorang peselancar yang mahir, selalu tersenyum riang meniti gelombang, walaupun sekali waktu ia harus tergulung ombak yang besar karena tiupan angin yang kencang. Ajaran suci diturunkan oleh Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa kemudian dirumuskan menjadi ajaran agama merupakan pegangan hidup dan kehidupan umat manusia. Seseorang yang memiliki pegangan yang jelas tidak akan khawatir dalam meniti kehidupan. Ajaran agama membimbing manusia bagaimana seharusnya hidup, bagaimana meniti hidup, apa tujuan hidup kita, bagaimana merealisasikannya dan berbagai bimbingan yang meangarahkan umat manusia menuju kesempurnaan hidup.
Dalam kehidupan ini, banyak hal yang dapat menjerumuskan diri manusia menuju jurang kehancuran. Di antara banyak hal yang menjerumuskan diri manusia, kitab suci Bhagavadgita menyatakan adanya 3 sifat atau dorongan, yaitu nafsu (Kàma), emosi (Krodha) dan ambisi (Lobha) yang digambarkan sebagai tiga pentu gerbang menuju neraka.
Trividham narakasyedam dvàram naúanam àtmanaá,
kàmaá krodhas tathà lobhas tamas etat trayam tyajet.
Bhagavadgita XVI.21.
(Inilah tiga pintu gerbang menuju neraka, jalan menuju jurang kehancuran diri, yaitu: nafsu (Kàma), amarah (Krodha) dan ambisi/serakah (Lobha), setiap orang harus meninggalkan sifat ini).
Ketiga sifat-sifat atau kecendrungan itu sering menjerumuskan umat manusia pada kehancuran diri dan lingkungannya. Untuk dapat mengatasi hal itu seseorang harus kembali berpegang kepada ajaran agama yang diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Esa/Sang Hyang Widhi seperti tercantum dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu lainnya. Dalam hal ini pendidikan spiritul, moral dan etika hendaknya semakin ditingkatkan dan direalisasikan dalam kehidupan nyata, sehari-hari baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, baik dalam lingkungan keluarga, lingkungan sosial maupun dalam hubungannya dengan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Pendidikan spiritual, moral dan etika merupakan hal yang sangat mendasar dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Adapun yang menjadi sumber pendidikan ini tidak lain adalah ajaran agama. Pengamalan ajaran agama bagi seseorang maupun kelompok masyarakat akan tercermin dalam berperilaku di dalam keluarga dan masyarakat. Semakin arif dan bijaksana perilaku seseorang, maka orang tersebut dikatakan telah mengamalkan ajaran agama dengan baik, sebab tidak ada artinya mengerti atau memahami ajaran agama bila tidak diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk dapat mengamalkan ajaran agama dengan baik, seseorang hendaknya melaksanakan berbagai petunjuk atau petuah yang diajarkan oleh ajaran agama.
Ajaran agama Hindu bersumber pada kitab suci Veda yang merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Bila seseorang secara mantap mengikuti semua ajaran agama yang bersumber pada sabda suci Tuhan Yang Maha Esa itu, maka ia akan memperoleh ketentraman dan kebahagiaan hidup yang sejati. Ajaran agama merupakan pembimbing kehidupan spiritual, moral dan etika bagi umat manusia. Sebagai telah dimaklumi bahwa kehidupan di dunia ini tidak selamanya stabil, tentang, tentram dan bahagia. Banyak duri dan rintangan yang mesti dihadapi, demikian pula gelombang kehidupan dengan pasang surutnya seakan-akan lebih dahsyat dari gelombang di samudra luas. Bila keadaan cuaca tentang, maka samudra kehidupanpun menjadi tenang, sebaliknya bila cuaca buruk, angin ribut, maka samudra kehidupanpun bergelombang tinggi yang kadang-kadang ombaknya menghancurkan bibir pantai. Bagaimanakah seseorang menyelamatkan diri dari gelombang kehidupan ini, maka jawabannya tidak ada yang lain, kecuali mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam ajaran agama Hindu kita mengenal empat jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, yakni melalui: Bhakti Màrga (jalan kebhaktian), Karma Màrga (jalan perbuatan), Jñàna Màrga (jalan pengetahuan kerohanian) dan Yoga Màrga (jalan Yoga/menghubungkan diri kepada-Nya). Dari berbagai jalan itu, nampaknya Bhakti Màrga merupakan jalan yang paling mudah dilaksanakan oleh umat manusia. Dari berbagai bentuk pelaksanaan Bhakti Màrga, maka melaksanakan Tri Sandhyà, sembahyang, dan berdoa merupakan jalan yang sederhana dan mudah dilaksanakan oleh setiap orang.
Tulisan singkat ini akan mengetengahkan dua hal seperti topik tulisan ini, yakni: Makna Sembahyang Sehari-hari. Tulisan ini diawali dengan menguraikan pengertian doa dan sembahyangyang tampaknya merupakan hal yang rutin, namun sesungguhnya banyak hal yang perlu didalami, dalam usaha untuk memantapkan Úraddhà, yakni keyakinan kita, guna mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widhi. Sabda Tuhan Yang Maha Esa secara tegas menyatakan bahwa siapa saja yang senantiasa sujud dan bhakti kepada-Nya, akan diberikan apa saja yang diperlukan, akan dilindungi-Nya apa saja yang dimiliki oleh seseorang. Bila kita senantiasa mampu mendekatkan diri, maka ketentraman jiwa, kesejahtraan dan kebahagiaan akan dapat diwujudkan.
Pengertian Doa dan Sembahyang
Apakah terdapat perbedaan antara sembahyang dan berdoa? Secara singkat dapat dijelaskan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara kedua hal tersebut. Sembahyang lebih bersifat formal, dilakukan di tempat tertentu (tempat yang diyakini suci seperti berbagai tempat pemujaan), namun berdoa dapat dilakukan kapan saja, di mana saja dengan bahasa Sanskerta atau bahasa hati. Mengapa kita mesti berdoa, bukankah dengan sembahyang saja cukup? Jawaban yang pertama adalah kita berkewajiban untuk setiap saat ingat dan memusatkan perhatian kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kitab suci Bhagavadgìtà secara tegas menyatakan:Manmanà bhava madbhakto madyàjì màý namaskuru,
màm evaisyasi satyaý te pratijàne prìyo’si me.Bhagavadgìtà XVIII.65.
(Berpikirlah tentang Aku senantiasa, jadilah penyembah-Ku,
bersembahyang dan berdoa kepada-Ku, dengan demikian,
pasti engkau datang kepada-Ku. Aku berjanji demikian
kepadamu, karena engkau Aku sangat kasihi)
Berdasarkan kutipan wejangan suci di atas, dapatlah kita pahami bahwa sembahyang dan berdoa mesti senantiasa kita lakukan karena Tuhan Yang Maha Esa menegaskan bahwa dengan senantiasa berpikir tentang-Nya, mengingat-Nya, bersembahyang dan berdoa kepada-Nya, Tuhan Yang Maha Esa akan membukakan pintu hati-Nya dan kita datang kepada-Nya. Alasan lebih jauh mengapa kita perlu berdoa adalah dalam rangka proses membiasakan diri (abhyàsa) guna mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mendekatkan diri kepada-Nya dengan membiasakan diri, akan mudah dilakukan bila kita telah memiliki keikhlasan (tyàga) dan tidak terikat terhadap obyek keduniwian (vairagya), mensyukuri karunia-Nya (santosa) dan keseimbangan lahir dan batin dalam suka dan duka (sthitàprajña). Dengan membiasakan diri berpikir tentang-Nya, berdoa kepada-Nya di setiap saat, maka melalui doa kita ini, kita akan bebas dari segala penderitaan dan pikiran-pikiran negatif yang menjerumuskan diri kita dan orang lain. Di mana nama-Nya disebutkan, di sana Tuhan Yang Maha Esa hadir dan menganugrahkan kasih dan kebahagiaan. Demikian pula memanjatkan doa, mohon keselamatan, kerahayuan dan pengampunan dapat dilaksanakan kapan saja, di mana saja dan dalam situasi apapun juga.
Paramà Premà (kasih yang sejati) sebagai landasan Doa dan Sembahyang
Seperti telah disebutkan pada bagian awal dari tulisan ini, hidup manusia tidak selamanya manis, enak dan menyenangkan, tetapi terkadang juga mengalami pasang surut laksana gelombang di tepi laut. Dalam pasang surut kehidupan, seseorang yang tidak memiliki pegangan hidup, pegangan spiritual, moral dan etika, ibarat sebuah perahu tanpa nahoda, akan selalu terobang-ambing,terhempas, dan mungkin terjerembab ke dasar lautan. Hidup dan kehidupan mestinya dinikmati bagaikan seorang peselancar yang mahir, selalu tersenyum riang meniti gelombang, walaupun sekali waktu ia harus tergulung ombak yang besar karena tiupan angin yang kencang.
Menurut kitab suci Bhagavadgìtà (XIII.9), setiap orang dibelenggu oleh enam hal, yakni: janma-måtyu (kelahiran-kematian), jara-vyàdhi (usia tua-penyakit), duákha-doûa (duka-dosa). Belenggu tersebut mesti dialami oleh setiap orang, dalam kondisi yang berbeda-beda, seperti umurnya pendek, baru beberapa saat setelah lahir kemudian meninggal atau ada yang memiliki umur panjang, dengan berbagai pengalaman suka dan duka dalam meniti kehidupan. Setiap orang tidak dapat melepaskan diri ketuaan, penyakit, penderitaan dan dosa. Bila kita kaji lebih jauh, frekwensi antara suka dan duka, nampaknya kesukaan atau kegembiraan hidup, pada umumnya lebih banyak dinikmati oleh umat manusia. Penderitaan tidak dapat dihindari. Penderitaan atau kedukaan mesti dihadapi. Bagi seseorang yang telah memeliki kebijaksanaan, keluhuran budi atau intelek, maka penderitaan dipandang sebagai awan-awan di langit yang pada saatnya akan lenyap dalam berbagai bentuk, ada yang langsung menjadi hujan ada juga yang menjauh, tidak menutupi langit di atas kepala kita. Badai pasti berlalu, demikian keyakinan yang perlu ditumbuhkan. Untuk mengatasi badai tidak ada jalan lain kecuali mencari perlindungan dan perlindungan yang sejati, tidak ada lain kecuali datang dari pada-Nya.
Ajaran suci diturunkan oleh Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa kemudian dirumuskan menjadi ajaran agama merupakan pegangan hidup dan kehidupan umat manusia. Seseorang yang memiliki pegangan yang jelas tidak akan khawatir dalam meniti kehidupan. Ajaran agama membimbing manusia bagaimana seharusnya hidup, bagaimana meniti hidup, apa tujuan hidup kita, bagaimana merealisasikannya dan berbagai bimbingan yang meangarahkan umat manusia menuju kesempurnaan hidup.Membicarakan umat manusia, maka dalam ajaran Hindu dinyatakan bahwa pada diri setiap mahluk terdapat jiwa yang tidak lain merupakan perwujudan atau ekspresi dari Àtman, percikan dan bagian dari sinar suci-Nya. Sesuai dengan sifat Àtman, maka sesungguhnya hati nurani umat manusia selalu suci, seperti halnya sifat-sifat Paramàtman, Tuhan Yang Maha Esa, jiwa dari seluruh alam semesta. Bila pada diri setiap umat manusia terdapat Àtman yang luhur sifatnya, maka seseorang hendaknya mampu mengekspresikan sifat-sifat luhur dari diri umat manusia. Manusia sesuai dengan arti katanya berasal dari Manu, kemudian berubah menjadi manuûya (yang berarti yang memiliki akal-pikiran/mind), dengan demikian sesungguhnya Àtman memancarkan budi pekerti yang luhur, memililiki sifat yang arif dan bijaksana yang dalam bahasa Sanskerta, status manuûya ditingkatkan menjadi Madhava-Madhava (dari kata madhu, yang berarti yang memiliki kemanisan hidup dan sifat lemah lembut, kasih kepada-Nya dan segala ciptaan-Nya.Sebagai telah dipahami, bahwa Bhakti Màrga adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jalan ini disebut jalan yang paling, mudah, sederhana dan tidak memerlukan biaya yang banyak, dan hampir seluruh umat Hindu menempuh jalan Bhakti ini. Dari ajaran Bhakti inilah muncul seni pengarcaan (membuat arca, sebagai sarana memuja keagungan-Nya, membuat bangunan suci yang indah dan sebagainya). Selanjutnya hidup tanpa seni, maka hidup seakan-akan kering tidak bermakna, oleh karena terdapat unsur seni dalam ajaran agama Hindu, maka unsur keindahan, selalu ditonjolkan.
Pokok-pokok ajaran tentang Bhakti Màrga dapat kita jumpai dalam kitab suci Veda, menunjukkan bahwa sejak Veda diturunkan dan diterima oleh para åûi (åûi agung atau maharûi) mengembangkan unsur Bhakti dalam dirinya. Berikut ini kami kutipkan mantram-mantram Veda yang mengajarkan ajaran Bhakti Màrga, sebagai berikut:Oý Bhùr Bhuvaá Svaá
Tat savitur vareóyam
bhargo devasya dhìmahi
dhiyo yo naá pracodayàt.
Yajurveda XXXVI.3.
(Ya Tuhan Yang Maha Kuasa, sumber segala yang ada,
luhur dan maha mulia, pencipta alam semesta. Kami memuja
kemaha mulian-Mu, anugrahkanlah kecerdasan dan budi pekerti
yang luhur kepada kami).
Mengapa mantram yang sangat terkenal yang disebut Vedamàtà (ibu dari semua mantram Veda) ini memohon kecerdasan intelek dan keluhuran budi, alasan yang dapat diajukan tidak lain dengan berbekal kecerdasan intelek dan keluhuran budi itu, seseorang memiliki Vivekajñàna, yakni kemampuan untuk membedakan yang baik dan buruk, yang benar dan salah. Selanjutnya setelah mengetahui, dan memahami hal tersebut, sinar budi nurani umat manusia, mendorong supaya setiap orang melakukan kebaikan dan kebajikan. Perhatikanlah mantram selanjutnya:
Bhadraý karóebhiá úróuyàma devà
bhadraý paúyemàkûabhir yajatràá
sthirair aògais tuûþuvàýsas tanubhir
vyaúema devahitaý yad àyuá.
Ågveda I.89.8, Yajurveda XXV.21.
(Ya Tuhan Yang Maha Esa, anugrahkanlah kepada kami
untuk mendengar hal-hal yang baik, dan, Ya Tuhan Yang
Maha Suci, kami dapat melihat hal- hal yang baik, dan
semogalah kami dapat mempersembahkan bhakti kami
dengan kekuatan tangan dan keteguhan badan kami, dapat
menikmati kebahagiaan sejati sesuai dengan hukum kemahakuasaan-Mu).
Mantram-mantram Veda berikut memberi petunjuk kepada kita bahwa segala sesuatu di alam semesta ini adalah ciptaan-Nya dan seseorang jangan terikat kepada keduniawian, demikian juga serakah ingin memiliki milik atau hak orang lain. Mengapa hal ini sangat ditekankan, karena pada hakekatnya dalam diri setiap mahluk terdapat Àtman yang senantiasa memancarkan keluhuran budi. Keluhuran budi ini hendaknya tetap dipelihara, dengan menghindarkan keterikatan diri dan keserakahan.
Puruûa evedaý sarvaý yad bhùtaý yacca bhàvyam,
utàmåtatvasyeúà no yad annenàti rohati.
Ågveda X.90.2.
(Tuhan Yang Maha Esa adalah asal dari segala yang ada
dan yang akan ada. Ia adalah raja dan penguasa alam yang
kekal abadi dan dunia fana ini tempat tumbuhnya makanan
(tanaman).
Ìúà vàsyam idaý sarvaý yat kiý ca jagatyàý jagat
tena tyaktena bhuñjìthàn mà gådhaá kasya svid dhanam.
Yajurveda XL.1.
(Hendaknya dipahami bahwa segalanya diresapi oleh Tuhan Yang Maha Esa, segala yang bergerak dan yang bergerak dialam semesta. Hendaknya orang tidak terikat dengan berbagai kenikmatan dan tidak rakus serta mengingini milik orang lain).
Dari beberapa mantram Veda yang mengajarkan bhakti ini, Maharûi Nàrada dalam kitabnya Nàrada Bhakti Sùtra (I.2) merumuskan bahwa bhakti itu sesungguhnya Paramà Premà atau Paramà Premàrùpa, cinta kasih yang sejati, yang tertinggi. Kasih yang sejati digambarkan sebagai kasih dari seorang bapak, sanak saudara, sahabat, dan di dalam Gurupùjà, Tuhan Yang Maha Esa tidak saja digambarkan sebagai seorang ibu dan bapak, tetapi juga sebagai keluarga dan sahabat, pemberi pengetahuan dan kekayaan. Perhatikanlah mantram-mantram berikut:
Agniý manye pitaram agnim àpim
agniý bhràtaraý sadami sakhàyam,
agner anìkaý båhataá saparyaý
divi úukraý yajataý sùryasya.
Ågveda X.7.3.
(Tuhan Yang Maha Esa yang kami yakini sebagai bapak kami, sanak kerabat dan saudara kami, kami puja Engkau sebagai yang memiliki wajah yang agung, sinar suci Sùrya di langit)
Tvam eva màta ca pità tvam eva
tvam eva bandhuú ca sakhà tvam eva,
tvam eva vidyà dravióaý tvam eva
tvam eva sarvaý mama deva-deva.
Guru Stotra 14.
(Tuhan Yang Maha Esa sesungguhnya adalah ibu kami, bapak kami, sahabat kami dan keluarga kami. Tuhan Yang Maha Esa sesungguhnya pemberi pengetahuan, dan Engkau
penganugrah kekayaan. Engkau adalah segalanya, Ya Engkau adalah dewata tertinggi dari seluruh dewata).
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka pengertian bhakti seperti nampaknya dekat dengan yajña, yakni pengorbanan yang tulus dengan landasan kesucian hati dan berseminya kasih sayang. Selanjutnya dalam kitab Úabdakalpadruma III. 463b, kata Bhakti dinyatakan sebagai vibhàga (pembagian atau pemisahan, memisahkan penyembah dan yang disembah), sevà (pemujaan atau pelayanan). Selanjutnya para ahli Sanskerta, menyatakan bahwa kata bhakti berasal dari akar kata bhaj yang berarti memuja, cinta kasih yang sejati kepada-Nya dengan penuh perasaan dan ketulusan. Di dalam Brahma Sùtra atau Vedànta Sùtra, pengertian tentang bhakti diungkapkan dalam kalimat Sùtra berikut: athàtobhaktijijñàsa, sekarang diuraikan makna bhakti, sàparànuraktìúvare, cinta kasih yang sejati kepada Tuhan Yang Maha Esa dari seseorang dengan sepenuh hati. Jadi pengertian tentang bhakti ini sejalan dengan makna kata paramà premà, kasih yang tinggi dan sejati.Prapatti (penyerahan diri) sebagai usaha mendekatkan diri kepada- Nya
Di dalam Bhagavadgìtà (VII.16-17) kita jumpai penjelasan tentang empat macam orang yang berusaha mendekatkan diri, berbhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, mereka itu adalah: orang yang sengsara, yang mengejar kekayaan, yang mengejar ilmu pengetahuan dan orang yang berbudi luhur. Di antara ke empat macam orang tersebut, maka orang yang berbudi luhur dinyatakan yang paling mulia. Mengapa demikian, orang yang berbudi pekerti luhur sepenuhnya menyerahkan diri kepada-Nya. Penyerahan diri secara total kepada-Nya disebut prapatti, demikianlah bhakti-prapatti mengandung makna bhakti yang murni, sebab mereka telah merasakan dalam kebhaktiannya itu, ia berada dalam lindungan-Nya. Bila kita bhakti dan menyerahkan diri sepenuh hati, maka Tuhan Yang Maha Esa hadir di hadapan kita.
Dari uraian tersebut di atas, kita menjumpai dua jenis atau bentuk bhakti, yaitu para bhakti dan apara bhakti. Para bhakti mempunyai makna yang sama dengan prapatti, yakni penyerahan diri secara total kepada-Nya sedang apara bhakti adalah bhakti dengan berbagai permohonan dan permohonan yang dipandang wajar adalah mohon keselamatan atau mohon berkembang-mekarnya budi nurani, sedang permohonan untuk keayaan dan kekuasaan, sering disebut bhakti yang bersifat Rajas dan Tamas. Perlu pula ditegaskan bahwa prapatti itu bukan fatalistik, artinya dengan penyerahan diri kepada-Nya, kemudian yang bersangkutan tidak bekerja sebagai mana mestinya, tidak melakukan tugas dan kewajiban dengan baik. Tuhan Yang Maha Esa di dalam kitab suci Veda tegas menyatakan bahwa Dia hanya menyayangi umat manusia yang suka bekerja keras, tidak malas, suka tidur dan banyak omong kosong.
Lebih jauh, bila kita mengkaji berbagai bentuk, sifat bhakti atau metodologi pendidikan untuk senantiasa bhakti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, kitab Bhàgavata Puràóa (VII.52.23) membedakan 9 jenis bhakti (Navavidhabhakti), yaitu:
(1).Úravaóam (mempelajari keagungan Tuhan Yang Maha Esa melalui membaca atau mendengarkan pembacaan kitab-kitab suci),
(2). Kìrtaóam (mengucapkan/menyanyikan nama-nama Tuhan Yang Maha Esa),
(3). Smaraóam (mengingat nama-Nya atau bermeditasi tentang-Nya),
(4). Pàdasevanam (memberikan pelayanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, termasuk melayani, menolong berbagai mahluk ciptaan-Nya),
(5). Arcaóam (memuja keagungan-Nya), (6). Vandanam (sujud dan kebhaktian),
(7). Dàsya (melayani-Nya dalam pengertian mau melayani mereka yang memerlukan pertolongan dengan penuh keikhlasan),
(8). Sàkhya (memandang Tuhan Yang Maha Esa sebagai sahabat sejati, yang memberikan pertolongan ketika dalam bahaya) dan (9). Àtmanivedanam (penyerahan diri secara total kepada-Nya).
Berbagai bentuk atau contoh perwujudan bhakti tersebut di atas dapat kita lihat dari berbagai ceritra baik dalam kitab-kitab Itihàsa seperti Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata maupun kitab-kitab Puràóa. Untuk memantapkan pemahaman kita tentang bhakti ini, kami kutipkan dua buah ceritra tentang kebhaktian Hanumàn kepada Úri Ràma dalam Ràmàyaóa sebagai berikut:Saat itu, setelah penobatan Vibhisana sebagai maharaja dan kota Lengka sudah diganti namanya menjadi Úrìlanka, semua pasukan Úrì Ràma telah kembali ke Ayodhyà. Úrì Ràma bersama dewi Sità dan Lakûamaóa mengendarai kereta terbang bernama Maóipuûpaka, yang merupakan hadiah dari dewa Kuvera. Setibanya di keraton Ayodhyà, segera itu dilaksanakan upacara Abhivandana, yakni upacara syukuran atas kejayaan Úrì Ràma berhasil menundukkan Ravana. Pada persidangan agung yang mulia dihadiri oleh seluruh petinggi kerajaan, Úrì Ràma membagi-bagikan berbagai hadiah kepada siapa saja yang pernah berjasa dalam memenangkan perang untuk merebut kembali dewi Sità. Setelah setiap pejabat tinggi mendapatkan hadiah, selanjutnya dipanggillah Hanumàn untuk menerima hadiah dari Úrì Ràma. Saat itu Hanumàn tampil berdatang sembah, dengan sangat hormat ia menyatakan tidak bersedia lagi menerima hadiah. Alasan Hanumàn, dengan Úrì Ràma menginjinkan dirinya sebagai abdi sang Pùróa Avatara, dirinya sudah mendapat hadiah yang tiada taranya, sebab siapa saja yang dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa, para dewa atau Avatara-Nya, seseorang menikmati kebahagiaan yang sejati.
Terhadap penolakan Hanumàn ini, Úrì Ràma dan dewi Sità kembali mendesak Hanumàn untuk bersedia menerima hadiah sebagai kenang-kenangan atas keberhasilan di medan perang. Demikian pula keberhasilan Hanumàn sebagai Duta serta keberanian dan kekuatan Hanumàn mendapat pujian dari segenap yang hadir. Hanumàn tidak menjawab. Saat itu dewi Sità berbisik kepada suaminya, untuk mengijinkan kalung mutiara hadiah Prabhu Janaka, ayahda dewi Sità diberikan kepada Hanumàn. Úrì Ràmapun menyetujuinya, walaupun kalung mutiara itu memiliki arti yang istimewa bagi Úrì Ràma dan Sità, karena dihadiahkan saat Úrì Ràma berhasil mematahkan busur milik dewa Úiva dalam sayembara dan berhasil memenangkan serta mempersunting dewi Sità sebagai istrinya. Saat Hanumàn tertunduk, Úrì Ràmapun langsung membuka kalung dewi Sità dan tampil ke depan menyerahkannya kepada Hanumàn. Hanumàn seperti terpaksa menerima hadiah tersebut. Hanumàn merasa malu, seorang yang telah lama diterima sebagai abdi harus menerima hadiah bukankah hal ini salah satu wujud kerakusan ? Setelah Hanumàn menerima hadiah tersebut, satu-persatu butiran mutiara itu diperhatikan oleh Hanumàn, maksudnya untuk menemukan gambar Úrì Ràma dan Sità pada biji-biji mutiara tersebut. Iapun tidak menemukan hal itu, tanpa disadari ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan kemudian menggigit rangkaian mutiara itu dan melemparkannya ke tanah. Hadiran tercengang dan gemas menyaksikan kejadian itu. Panglima Sugrìva sangat marah dan membentak Hanumàn. “Hai Hanumàn, engkau kera hina tidak tahu diri, kelakuanmu itu memalukan, kuhancurkan wajahmu! Kau telah hina persidangan yang agung ini !” Ia berdiri tegak sambil mengepalkan tangan hendak memukul Hanumàn. Bila saja tidak di depan persidangan yang mulia itu, Sugrìva sudah pasti menempeleng muka Hanumàn. Sugrìva sangat geram, tubuhnya gemetar menahan marah.
Pada saat yang menegangkan itu, Úrì Ràma dan Sità tersenyum dan memandang Sugrìva yang sedang marah. Demikian tatapan Úrì Ràma dan Sità menyapu wajah Sugrìva, saat itu pula emosi dan kemarahan Sugrìva lenyap. Úrì Ràma dan Sità benar-benar mengalirkan pancaran kasih yang tiada taranya. Selanjutnya Úrì Ràma mendatangi Hanumàn dan menepuk bahunya : “Engkau seperti anak kecil, mengapa lakukan hal itu ?”. Maaf tuan Úrì Ràma dan ibu dewi Sità, hamba telah mengecewakan persidangan yang mulia ini. Memang hamba seekor kera yang hina, tetapi hamba kira diri hamba tidak lebih rendah dari seorang manusia. Bagi hamba dengan diijinkan sebagai abdi, hamba sudah bahagia, karena ketika hamba dekat dengan tuan dan ibu sebagai perwujudan Avatara Tuhan Yang Maha Esa dan dewi Laksmi, saat itu pula kebahagiaan tiada taranya hamba peroleh dari tuan. Bukankah dengan pemberian hadiah ini hamba menunjukkan kerakusan hamba ?”.
Úrì Ràma kembali menepuk bahu Hanumàn. “Tidak ! Engkau tidak rakus. Lalu apa yang engkau minta Hanumàn! Katakanlah jangan seperti anak kecil !” “Baiklah tuan dan ibu dewi Sità, bila hamba boleh meminta lagi, ijinkanlah hamba senantiasa dekat tidak saja secara jasmaniah, tetapi tuan dan ibu dewi Sità hendaknya selalu berada di hati kami. Untuk itu sudikah tuan Úrì Ràma dan ibu dewi Sità untuk bersthana pada jantung hati kami. Pada singasana bunga hati kami. Bila tuan dan ibu dewi Sità berkenan bersthana, maka itulah hadiah yang hamba senantiasa mohon”.
Úrì Ràma selanjutnya berdiri tegak dan bersabda : “Hai Hanumàn dan hadirin yang tercinta dan supaya di dengar pula oleh seluruh jagat raya. Siapa saja yang maju satu langkah menghadap Aku dan mau mendekatkankan dirinya serta membuka pintu hatinya. Aku akan datang sepuluh langkah mendekati mereka, masuk ke dalam hatinya dan memberikan kebahagiaan yang sejati tiada taranya!”. Mendengar sabda Úrì Ràma demikian merdu dan menggetarkan alam semesta. Hanumàn dengan mencium kaki Úrì Ràma terlebih dahulu, kemudian menegakkan dadanya. Dengan kekuatan “Bayubajra“, bagaikan kekuatan petir, tiba-tiba dengan kukunya yang tajam ia menoreh dadanya. Dan dengan tenaganya yang dahsyat, tiba-tiba yang merobek dadanya, darah berhamburan ke berbagai arah. Saat itu pula Úrì Ràma dan dewi Sità hilang dari singgasana kencananya yang indah. Suasana menjadi hening dan terdengar mantra-mantra para dewa dan rsi-rsi sorga dengan taburan bunga harum semerbak, nampaklah cahaya gemerlapan pada dada Hanumàn yang menganga lebar. Pada cahaya itu kemudian nampak sebuah singasana emas di atas padma hati Hanumàn. Ketika itu kelihatan Úrì Ràma dan Sità duduk melambaikan tangan dengan sikap Abhaya dan Varamudra, yaitu sikap tangan menjauhkan serta menolak bencana dan memberi hadiah. Hadirin mengucapkan Jaya-jaya Úrì Ràma, Jaya-jaya dewi Sità. Setelah suana hening kembali. Hanumànpun menutup dadanya, tidak nampak ada luka dan tiba-tiba Úrì Ràma dan dewi Sità sudah kembali bersthana pada singasana kencana di depan persidangan.
Demikian nukilan singkat dari ceritra Ràmàyaóa yang memberikan pendidikan secara simbolis, bila di hati kita telah bersthana sang Avatara, para dewa manifestasi Tuhan Yang Maha Esa, maka niscaya kebahagiaan akan selalu berada dalam diri kita. Berbagai upacara termasuk piodalan dan lain-lain mengandung makna untuk mendekatkan diri kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan mendekatkan diri, maka Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud-Nya sebagai Anandarùpa, yakni kebahagiaan yang sejati akan turun dan memberikan kebahagiaan yang tak terhingga kepada kita.
Demikian ceritra tentang bhakti yang sejati adalah sesungguhnya pelayanan kepada-Nya, lebih jauh kami petikkan tentang arogansinya Arjuna yang populer dikenal dengan ceritra Arjuna Pramada, mengisahkan perjumpaan Arjuna dengan Hanumàn, Arjuna merasakan betapa kelirunya bila tidak hormat dan bhakti kepada Avatara-Nya:
Sekali waktu Úrì Kåûóa berjalan-jalan diikuti oleh Arjuna di pinggir pantai Kanyakumari yang dikenal pula dengan nama tanjung Komorin di ujung Selatan anak benua India atau Bharatawarsa. Úrì Kåûóa mengagumi kemegahan pura Ràmeúvaram yang nampak berdiri agung bagaikan sebuah gunung putih berkilauan. Arjunapun menyaksikannya dengan penuh ketakjuban. Perhatian mereka beralih menyaksikan puing-puing jembatan Situbandha, jembatan yang menghubungkan India dengan Úrìlangka. Úrì Kåûóa menunjukkan betapa mega proyek dikerjakan oleh ribuan wanara bala tentara Sugrìva untuk mensukseskan perang merebut kembali dewi Sità dari tangan raja angkara murka Ràvaóa.
“Lihatlah Arjuna, batu yang demikian gedenya mampu diangkat oleh bala tentara kera, sungguh mengagumkan!”, demikian antara lain ucapan Úrì Kåûóa kepada Arjuna. Arjunapun menjawabnya dengan penuh kekaguman. Namun yang terjadi saat itu sesunggunya dalam diri Arjuna muncul keangkuhan. “Membuat jembatan demikian saja kok mengerahkan ribuan bala tentara kera. Kalau aku, sendirian dengan sebatang panahku aku mampu membikin jembatan yang jauh lebih besar dari mega proyeknya Úrì Rama itu”, demikian keangkuhan Arjuna, walaupun tidak diucapkan, namun Úrì Kåûóa dengan detektor gaib yang dimilikinya mampu mengetahui pikiran Arjuna sekalipun belum terucapkan.
Kecongkakan atau pramada yang muncul dari pikiran Arjuna ini ingin dilenyapkan oleh Úrì Kåûóa. Saat itu pula Kåûóa dengan power yang dimilikinya mampu memanggil Hanumàn yang sedang rileks di lereng gunung Kailasa. Bagaikan kilatan cahaya, entah dari mana datangnya, tiba-tiba seekor kera bengil (kecil dan nampak kurang sehat) berdiri di samping Arjuna dan ternyata kera itu mampu berbicara kepada Arjuna. “Maaf tuan, apakah tuan bernama Sang Arjuna dan apakah tuan bernama Úrì Kåûóa ?” demikian, sapaan suara kera bengil itu kepada kedua tokoh yang tegap dan tampan di hadapannya. Úrì Kåûóa mengangguk: “Ya saya Kåûóa dan ini adik saya Arjuna”. Tiba-tiba keangkuhan Arjuna tidak tertahankan dan nyeletuk: “Apakah anda mengenal mega proyek jembatan Situbanda yang mengagumkan dalam kisah Ràmàyaóa ?”, demikian pertanyaan Arjuna kepada kera yang sambil jalan nampak renta. “Ya tuan, saya tahu itu”. “Wah kalau jembatan yang demikian saja mengerjakannya mengerahkan ribuan kera, maka berarti Úrì Ràma itu tidak hebat, mestinya beliau dengan satu panahnya saja mampu membuat sebuah jembatan yang besar dan kokoh”. Aku mampu melakukan hal itu!”.
Demikian kata-kata Arjuna, kera itu semakin mendekat: “Wah hebat benar tuan!” Kiranya bila berkenan, tunjukkanlah kepada hamba biar hamba juga mengenal kemampuan tuan sebagai orang ketiga dari keluarga Pandawa. Úrì Kåûóa memberikan isyarat kepada Arjuna dan Arjunapun mengeluarkan satu batang panah bernama Nagapasa dari selongsongnya dan seketika itu ia melepaskan panahnya dan tiba-tiba panah itu berubah menjadi sebuah jembatan yang besar, megah dan nampak kokoh. Kera kecil itu minta ijin kepada Arjuna untuk mencobanya. “Maaf tuan Sang Arjuna, apakah saya boleh mencoba lewat pada jembatan yang besar ini?”. “Ya Ya Ya silakan….silakan, engkau boleh melompat seenaknya pada jembatan karyaku ini!”. Tiba-tiba saja kera kecil itu melompat, demikian satu kali injakan, ternyata jembatan itu roboh. “Maaf tuan Sang Arjuna, saya kera yang bengil begini saja membuat jembatan anda hancur, apalagi ribuan bala tentara Sugrìva yang akan menyerang Alengka, bisakah mereka menyeberangi jembatan tuan!”.
Muka Arjuna merah padam dan sangat malu kepada Úrì Kåûóa, ternyata seekor kera bengil mampu merobohkan karyanya yang hebat itu. Arjunapun bertindak kesatria dan bertanya: “Maaf, saya bertanya siapakah anda ?” “Saya yakin anda bukan seekor kera biasa ? Saya mengagumi anda?”. Kera kecil itupun menunjukkan jati dirinya: “Ya tuan Sang Arjuna, aku ini……aku ini adalah Hanumàn, abdi setia Úrì Ràma”. “Maaf, tuan Hanumàn, saya dengar anda sangat besar, hebat dan mampu terbang kemana-mana, kini mengapa anda kelihatan kecil, tua renta dan seperti tidak berdaya?. Ijinkanlah saya menghormati anda” demikian kata-kata Arjuna terbata-bata dengan penuh penyesalan. Hanumànpun menjawan: “Wahai Arjuna, setiap mahluk mengalami proses menuju ketuaan. Ketika saya masih menjabat sebagai panglima divisi Selatan untuk membebaskan Sità dari belenggu Ràvaóa, saya punya jabatan tinggi. Sebagai pejabat besar saya mendapat fasilitas terbang kemana-mana dan gratis lagi. Kini saya telah pensiun. Jabatan itu telah saya serah terimakan. Sebagai seorang yang tidak menjabat, segalanya kini nampak kecil, tubuh saya kecil, sakit-sakitan lagi dan tidak seorangpun mau menolehnya. Syukur saya tempo hari dapat berkesempatan dekat dengan Úrì Ràma, beliau banyak memberikan karunia kepada saya untuk menghadapi berbagai persoalan hidup termasuk bagaimana cara menghindari Postpower syndrome, karena aku tidak menjabat lagi. Sebagai orang yang sudah mulai uzur, maka saya sejak kanak-kanak telah mempersiapkan diri untuk memasuki masa Vanaprastha, masa tua, jauh dari hiruk pikuk panggung politik dan ikatan duniawi, bila kita sadari semua dengan keihlasan, bahwa tunas-tunas baru akan senatiasa tumbuh pada cabang-cabang kayu menggantikan ranting-ranting yang mulai lapuk, maka kesadaran itu memberikan kebahagiaan yang sejati. Úrì Ràma telah menganugrahkan saya ajaran Muktika Upanisad, sebagai bekal menuju alam keabadian. Karunia Úrì Ràma tiada taranya. Kini engkau Arjuna dekatkanlah hati dan pikiranmu kehadapan kaki Úrì Kåûóa, maka engkaupun akan memperoleh kejayaan. Bila saatnya perang Bharatayudha meletus, pasanglah sebuah bendera berisi gambarku, ketika engkau menoleh bendera itu, engkau ingat kepada aku, maka akupun segera datang membantumu di medan laga”. Demikianlah ucapan Sang Hanumàn, Arjunapun berkaca-kaca. Sejak saat itu, Nagapasa sang Arjuna diabadikan dalam umbul-umbul, dan bendera Arjuna selalu berisi gambar Hanumàn. Kedua hal ini selalu dipancangkan pada pura-pura atau mandira-mandira sthana muja-Nya terutama ketika upacara piodalan, mengingatkan peristiwa Arjuna pramada
Dari kedua nukilan ceritra di atas, dapat dipetik hikmahnya bahwa pada hati seorang bhakta yang tulus, Tuhan Yang Maha Esa senantiasa hadir didepannya, demikian pula kecongkakan dan arogansi dapat menyesatkan diri seseorang dalam mengikuti jalan bhakti atau bhakti màrga
Mantra sebagai sarana berdoa dan sembahyang
1) Pengertian mantram
Apakah setiap kita sembahyang mesti menggunakan mantram, bagaimana bila kita tidak mengetahui tentang mantram, apakah boleh menggunakan bahasa hati, bahasa yang paling kita pahami? Berbagai pertanyaan muncul berhubungan dengan penggunaan mantram dalam acara persembahyangan. Dalam melaksanakan Tri Sandhyà, sembahyang dan berdoa setiap umat Hindu sepatutnya menggunakan mantram, namun bila tidak memahami makna mantram, maka sebaiknya menggunakan bahasa hati atau bahasa ibu, bahasa yang paling dipahami oleh seseorang yang dalam tradisi Bali disebut “Sehe” atau “ujuk-ujuk” dalam bahasa Jawa.
Mengapa penggunaan mantra sangat diperlukan dalam sembahyang? Terhadap pertanyaan ini dapat dijelaskan bahwa sesuai dengan makna kata mantra, yakni alat untuk mengikatkan pikiran kepada obyek yang dipuja. Pernyataan ini tidak berarti bahwa setiap orang harus mampu mengucapkan mantra sebanyak-banyaknya, melainkan ada mantra-mantra yang merupakan ciri atau identitas seorang penganut Hindu yang taat, yakni setiap umat Hindu paling tidak mampu mengucapkan mantra sembahyang Tri Sandhyà, Kramaning Sembah dan doa-doa tertentu, misalnya mantram sebelum makan, sebelum bepergian, mohon kesembuhan dan lain-lain. Umumnya umat Hindu di seluruh dunia mengenal Gàyatrì mantram, mantram-mantram ÚubhaSità (yang memberikan rasa bahagia dan kegembiraan) termasuk Mahàmåtyuñjaya (doa kesembuhan / mengatasi kematian), Úàntipatha (mohon ketenangan dan kedamaian) dan lain-lain.
Sebelum lebih jauh menguraikan tentang fungsi atau manfaat pengucapan mantram, maka sangat baik pula dipahami perbedaan pengertian antara mantram, stuti, stava, pùjà atau stotra, sùtra dan úloka. Mantram pada umumnya adalah untuk menyebutkan syair-syair yang merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa, yang disebut Úruti. Dalam pengertian ini yang termasuk dalam pengertian mantram adalah seluruh syair dalam kitab-kitab Saýhità (Ågveda, Yajurveda, Sàmaveda, Atharvaveda), Bràhmaóa (Úatapatha, Gopatha, dan lain-lain), Àraóyaka (Taittirìya, Båhadàraóyaka, dan lain-lain) dan seluruh Upaniûad (Chàndogya, Ìúa, Kena, dan lain-lain).
Di samping pengertian mantram seperti tersebut di atas, syair-syair untuk pemujaan yang tidak di ambil dari kitab Úruti, sebagian di ambil dari kitab-kitab Itihàsa, Puràóa, kitab-kitab Àgama dan Tantra juga disebut mantra, termasuk pula mantram para pandita Hindu di Bali. Mantram-mantram ini digolongkan ke dalam kelompok stuti, stava, stotra, dan pùja. Selanjutnya yang dimaksud dengan sùtra adalah kalimat-kalimat singkat yang mengandung makna yang dalam seperti kitab Yogasùtra oleh maharûi Patañjali, Brahmasùtra oleh Badaràyaóa dan lain-lain, sedang úloka adalah syair-syair yang dipakai dalam kitab-kitab Itihàsa dan Puæàóa, termasuk seluruh kitab-kitab sastra agama setelah kitab-kitab Itihàsa dan Puràóa.
2) Fungsi mantram
Kini marilah kita bahas fungsi atau manfaat penggunaan mantram. Seperti telah diuraikan di atas, maka mantram-mantram berfungsi sebagai stuti, stava, stotra atau pùjà yang bermakna untuk mengagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa, para dewata manifestasi-Nya, para leluhur dan guru-guru suci, dalam pengertian ini termasuk pula untuk memohon keselamatan, kerahayuan, ketenangan dan kebahagiaan. Dalam fungsinya untuk memohon perlindungan diri, maka mantram berfungsi sebagai Kavaca (baju gaib yang melindungi tubuh dan pikiran kita dari kekuatan-kekuatan negatif atau jahat) dan Pañjara (membentengi keluarga dari berbagai halangan atau kejahatan.
Perlu pula ditambahkan, bila mengucapkan mantram-mantram, hendaknya dipahami benar-benar arti dan makna sebuah mantram yang hendak dirapalkan. Mengucapkan mantram tanpa mengerti makna, kitab Nirukta (I.13) menyatakan: Seorang yang mengucapkan mantram dan tidak memahami makna yang terkandung dalam mantram itu, tidak pernah meperoleh penerangan (kurang berhasil) seperti halnya sepotong kayu bakar, walaupun disiram dengan minyak tanah, tidak akan terbakar bila tidak disulut dengan korek api. Demikian pula halnya orang yang hanya mengucapkan mantram tidak pernah memperoleh cahaya pengetahuan yang sejati.
Pertanyaan yang sering diajukan oleh sebagian masyarakat adalah bagaimanakah caranya mengucapkan sebuah mantram, apakah perlu keras-keras, berbisik-bisik atau diam saja, atau cukup di dalam hati. Menurut berbagai informasi dinyatakan bahwa terdapat tiga macam cara pengucapan mantram, yaitu:
1) Vaikari (ucapan mantram terdengar oleh orang lain).
2) Upàmûu(berbisik-bisik, bibir bergerak, namun suara tidak terdengar).
3) Manasika(terucap hanya di dalam hati, mulut tertutup rapat).
Dari ketiga jenis atau cara pengucapan mantram di atas, Manasika yang diyakini paling tinggi nilainya dan menurut hemat kami, yang penting adalah kesujudan, kekusukkan dan kesungguhan yang dilandasi oleh kesucian hati. Memang tidak semua orang berhasil mengucapkan mantram dengan baik dan mantram atau doanya itu terkabulkan. Untuk menunjang keberhasilan pengucapan mantram (mantram akan siddhi-mandi), hal yang sangat perlu dilakukan antara lain: sebelum mengucapkan mantram hendaknya seseorang menyucikan dirinya baik jasmani maupun rohani (asuci laksana) dan bagi seorang rohaniwan, melakukan berbagai brata (janji atau tekad bulat tertentu melaksanakan ajaran agama/berdisiplin), upavàsa (mengendalikan makanan) dan japa (pengucapan mantram-mantram berulang-ulang), mendukung keberhasilan dalam mengucapkan mantram.
3) Mantram Tri Sandhyà sebagai sarana sembahyang sehari-hari
Mengapakah kita wajib melaksanakan puja Tri Sandhyà, apakah sumber ajaran ini dan bagaimana kita bila tidak mampu melaksanakan hal tersebut? Apakah harus melaksanakan puja Tri Sandhyà itu di tempat-tempat yang di pandang suci, bagaimanakah apa boleh dilaksanakan di kantor atau tempat-tempat pertemuan dan lain-lain muncul sebagai akibat belum memasyarakatnya Tri Sandhyà secara baik.
Tri Sandhyà adalah sembahyang yang wajib dilakukan oleh setiap umat Hindu tiga kali dalam sehari. Sembahyang rutin ini diamanatkan dalam kitab suci Veda dan sudah dilaksanakan sejak ribuan tahun yang lalu. Bila kita tidak tekun melaksanakan Tri Sandhyà berarti kita tidak secara sungguh-sungguh mengamalkan ajaran yang terkandung dalam kitab suci Veda. Banyak hambatan yang dialami mengapa seseorang tidak tekun melaksanakan puja atau sembahyang Tri Sandhyà, beberapa hambatan tersebut di antaranya: karena kurang memahami makna yang terkandung dalam melaksanakan puja Tri Sandhyà, karena enggan, sebab belum dibiasakan (abhyàsa), bahasanya tidak atau kurang dipahami dan sebagainya.
Untuk mengatasi berbagai hambatan tersebut di atas, pertama-tama tumbuhkan tekad bahwa kita mampu untuk melaksanakan hal itu. Selanjutnya pelajari dan hafalkan tiap-tiap kata dalam mantram yang digunakan dalam Tri Sandhyà. Usaha lainnya adalah dalami maknanya seperti telah kami ungkapkan di atas, mantra Tri Sandhya, khususnya mantram Gàyatrì, di samping fungsi utamanya sebagai stava, stotra atau pùjà, maka fungsinya sebagai kavaca dan pañjaramendorong kita untuk menuju keselamatan jiwa dan raga. Sebagai dimaklumi, di dalam mantram-mantran yang digunakan untuk puja Tri Sandhyà, terdapat sebuah mantram yang sangat disucikan oleh umat Hindu, yakni mantram Gàyatrì, mantram pertama dari 6 bait mantram Tri Sandhyà, dan seperti diamanatkan dalam kitab Atharvaveda, mantram Gàyatrì atau Gàyatrì mantram adalah Vedamàtà, ibu dari semua mantram Veda, yang dapat memberikan perlindungan, keselamatan, kegembiraan dan kebahagiaan.
Penelitian ilmiah di Madras (India) maupun di Amerika menunjukkan bahwa orang yang tekun mengucapkan Gàyatrì mantram, butir-butir darah putih dan merahnya semakin segar dan bertambah jumlahnya. Mantram ini dapat digunakan sebagai mantram Japa, yakni diulang-ulangi beberapa kali dengan khusuk untuk permohonan tertentu.
Penutup
Demikian antara lain makna doa dan sembahyang yang mesti dilakukan oleh setiap orang dalam mengarungi lautan kehidupan yang maha luas. Dengan berdoa dan sembahyang yang didasari dengan Úraddhà (keimanan) dan Bhakti (ketaqwaan), maka kehidupan ini akan penuh makna. Terpenuhilah segala keinginannya dan terlindungilah apa yang dimikilikinya seperti dinyatakan oleh Úri Kåûóa dalam Bhagavadgita seperti dikutip pada awal bagian tulisan ini. Mendapat perlindungan dan kasih-Nya merupakan tujuan tertinggi dari berdoa dan sembahyang.


