![]() |
![]() |
Bhisama Kesucian Pura harus Ditegakkan ….
Pura jangan ”Disakiti”
ADA pesan yang sangat berkesan disampaikan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra ketika memberikan pengarahan dalam Paruman Sulinggih, Paruman Walaka, dan Pengurus Harian Parisada Pusat, 25 Januari 1994 di Universitas Hindu Indonesia, yang menghasilkan Bhisama Kesucian Pura. ”Hendaknya dijaga agar pura jangan kelihatan menderita dengan lingkungan yang baru”. IBG Agastia menyatakan hal itu ketika diminta komentarnya setelah menyajikan makalah menyambut Seratus Tahun Kebangkitan Nasional di Institut Hindu Dharma Negeri, Sabtu (24/5) lalu.
Agastia yang ketika itu Ketua I Parisada Pusat telah menuangkan pikiran-pikiran para sulinggih dan para walaka, termasuk di antaranya Prof. Dr. Ida Bagus Mantra dan Prof. Dr. Cokorda Rai Sudharta yang memetik sloka-sloka kitab suci Weda ke dalam konsep bhisama yang kemudian menjadi Keputusan Parisada Pusat No. 11/Kep/I/PHDIP/1994.
Para peserta paruman sebenarnya sangat concern dengan lingkungan alam, sehingga mereka menegaskan bahwa lingkungan selalu berpengaruh atau memberi sumbangan pada kesejahteraan dan perkembangan rohani. Tetapi bila lingkungan itu keadaannya buruk atau kurang serasi maka ada tendensi menghancurkan keseimbangan dan membuat lebih buruk nalurinya mengarah pada apatisme, dan menghilangkan kreativitas.
Oleh karena itu, sangat penting mengambil langkah-langkah pengamanan terhadap lingkungan sebagai satu aspek yang penting dari budaya masyarakat. Tempat-tempat suci dengan suasana yang tenang dan hening, bila tiba-tiba di sekelilingnya didirikan bangunan-bangunan besar, vila, ataupun lapangan golf meskipun sedikit manusianya adalah manifestasi dari proses industrialisasi yang akan dapat membawa pengaruh terhadap desakralisasi atau mengurangi rasa kemantapan umat beragama di dalam melaksanakan ajaran agamanya. Pura atau tempat suci terasa disakiti oleh kehadiran bangunan-bangunan komersial tersebut.
Bagi umat Hindu, tempat suci yang mempunyai sejarah dalam kaitan dengan tempat orang suci mendapatkan wahyu atau pawisik suci, maka tempat suci itu menjadi pusat-pusat tirtayatra. Mengingat meningkatnya kebutuhan umat ber-tirtayatra, maka sudah seharusnya jika tempat suci atau tempat tirtayatra tersebut berada pada lingkungan yang luas sehingga memberi rasa tenang dan hening.
Dalam Kitab Suci Reg Weda (8.6.28) disebutkan: ”Di tempat yang hening, di gunung-gunung, pada pertemuan sungai-sungai, di sanalah para Maharsi mendapatkan pemikiran yang jernih dan suci”. Sedangkan di dalam Atarwa Weda (12.1.38) dinyatakan: ”Bumi di mana mereka membangun tempat suci dan melaksanakan yadnya; di mana telah dipancangkan tiang tinggi dan terang serta terus diadakan pembacaan doa, tempat suci itu membuat kami makmur”. Terlebih lagi umat Hindu yang mendasarkan hidupnya dengan sifat sosial religius, sudah seharusnya dalam menata lingkungan melalui pendekatan sosial religius pula, karena aspek sosial religius memberikan dampak ekonomi jangka panjang dan berkesinambungan.
Agastia yang saat ini sebagai anggota DPD RI/MPR RI menegaskan bahwa Bhisama Kesucian Pura itu sudah benar, karena itu semua pihak harus menegakkannya. Tidak saja demi kesucian pura, kelestarian dan keindahan alam serta budaya Bali (nature dan culture), tetapi juga demi kesinambungan ekonomi Bali yang berorientasi jauh ke masa depan. (r/*)Balipost – Selasa, 27 Mei 2008.



