Tiga Jalan Utama
Oleh Sri Swami Sivananda
Prihal perintah-perintah Karma yang dianjurkan dan Karma yang tak dianjurkan pelaksanaannya, telah tertuang di dalam Veda-Veda. Veda-Veda berbicara tentang manfaat-manfaat dan cela-cela terkait dengan Karma. Mereka juga bicara tentang Varna (tingkatan profesi dalam masyarakat – pent.) dan Asrama (pentahapan dalam menjalani kehidupan spiritual-religius sesuai usia – pent.), yang berbeda-beda sesuai waktu, ruang, dan pengkondisian, yang dapat mengantarkan pencapaian Swarga (kebahagiaan) ataukah yang dapat menjerumuskan menuju alam Naraka (penderitaan).
Naluri terhadap baik atau buruk bukanlah pembawaan lahir, tetapi diperoleh dari kitab-kitab ajaran; dan dari kitab-kitab yang sama pula dapat dikurangi pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan ajaran. Bagi para pembaca awam, mereka bisa jadi membingungkan. Mengingat kecenderungan kontradiktif ini, melalui bimbingan-bimbingan serta penjelasan-penjelasan yang tertuang didalam Bhagavata Purana, terbukti dapat ditiadakan.
Telah disebutkan keberadaan dari Tiga Jalan Utama guna mencapai Moksha yakni: Jnana, Karma dan Bhakti Yoga. Secara pasti, telah disebutkan bahwa tak ada jalan lainnya untuk mencapai Moksha (kebebasan mutlak), kecuali melalui Jalan-jalan Utama ini. Jnana Yoga diperuntukan bagi yang kurang berkenan menjalankan Karma Yoga. Sebaliknya, Karma Yoga diperuntukan bagi yang tak-enggan melakukannya, bahkan merasa lebih sesuai baginya. Bagi ia yang secara kebetulan, menjadi sedemikian patuhnya terhadap apa yang dikatakan sebagai sabda-sabda dan perintah-perintah Tuhan, dan tak segan-segan melaksanakan Karma, termasuk juga yang tak — semestinya dilekati, adalah amat sesuai menjalankan Bhakti Yoga.
Seseorang mesti mengikuti jalan Karma, sejauh ia tak-enggan melaksanakannya atau ia tak berbakat untuk membenamkan batinnya dalam kesadaran Tuhan. Melaksanakan Yajna-yajna, merupakan kewajiban bagi semuanya, tanpa disertai keinginan-keinginan pribadi (berdasarkan ke-aku-an) dan secara tulus-ikhlas. Hendaknyalah, tidak melakukan perbuatan terlarang. Dengan cara itulah orang melampaui batas-batas Swarga (kebahagiaan) dan Naraka (penderitaan). Melalui pelaksanaan kewajiban masing-masing sebaik-baiknya, orang suci mencapai kemurnian dari kebijaksanaan dan Bhakti.
Para penghuni Swarga masih membutuhkan jasmani, demikian pula para penghuni Naraka. Namun sesungguhnya, jasmani manusia hanya masih diperlukan untuk mencapai Jnana dan Bhakti, bukan untuk pencapaian Swarga apalagi Naraka. Orang yang berpandangan jauh kedepan tak pernah berharap untuk mencapai Swarga atau ketakutan mendengar Naraka. Ia bahkan tak mengharapkan untuk terlahir dalam jasad manusia lagi. Oleh karena, ia memahami bahwa berhubungan dengan jasad manusia ini, membangkitkan gangguan ke-aku-an.
Orang suci mengetahui dengan jelas bahwa jasmani ini sesungguhnya diperuntukan bagi penghentian segala kenafsuan dan keinginan. Namun – masih dalam jasad manusia – beliau berhasil didalam berjuang mencapai Moksha, sebelum kematian menghampirinya; beliau ibarat seekor burung yang tak lagi terikat pada sarangnya, terbang melayang dengan bebas dan dalam kebahagiaan, sebelum rambahan tangan-tangan manusia yang menebang pohon – dimana ia bersarang.
Jasmani manusia, yang merupakan sumber prima untuk berbagai pencapaian, adalah perahu yang sempurna, sungguh sulit menjaganya, akan tetapi menjadi mudah bila telah mencapai ‘pantai seberang’. Sang Guru menjaga perahu ini, dan Tuhan adalah angin baik yang mengantarkannya ke seberang. Manusia yang tak berupaya menyeberangi samudra kelahiran dan kematian, sesungguhnya adalah pembunuh Sang Diri Jati.
Jnana Yoga
Bila seseorang kurang cocok dan tak-sabaran dalam mengikuti jalan Karma, dan bila ia mampu mengendalikan semua indriya-nya, ia juga harus melatih konsentrasi pikiran. Ketika berusaha berkonsentrasi – umumnya – pikiran menjadi rapuh dan liar, semua ini mesti disadari dan tetap dalam kendali serta dilakukan dengan semangat yang tak kunjung padam. Dengan membiarkannya berkelana sejenak, pikiranpun dapat dijinakkan nantinya. Jangalah lalai dalam memeriksa pikiran Anda menggunakan Prana (daya vital) Anda dan mengendalikan semua indriya Anda sejalan dengan Sattvika Buddhi (keluhuran budi), guna menggiring pikiran pada kesadaran Diri Jati.
Pengendalian pikiran adalah Yoga tertinggi. Sang pelatih kuda, pada mulanya mengendorkan kendali, akan tetapi tak pernah benar-benar melepas kendali tersebut. Refleksikanlah batin Anda pada semua objek manifestasi kreatif, kemudian lakukanlah yang sebaliknya, yaitu proses pemutusan secara batiniah – sesuai metode Sankhya (penguraian sesuatu ciptaan atas unsur-unsur dasar pembentuknya; merupakan salah satu aliran filsafat besar dalam Hinduisme yang juga merupakan dasar filosofi Yoga – pent.). Lakukanlah ini hingga batin berangsur-angsur menjadi kalem.
Dengan menanamkan rasa muak terhadap keduniawian, sikap ketidak-berpihakan, dan secara konstan merenungkan ajaran-ajaran Sang Guru, batin akan terlepas dari kegelapan yang meliputinya. Melalui praktek Yama (menahan diri) dan metode lainnya dalam Yoga, dengan mengadakan pemisahan diri dari ke-aku-an serta pemujaan kepada-Nya, batinpun akan mampu mencapai Kesadaran Tuhan. Bila mengalami kehilangan kendali keseimbangan mental, dimana Sang Yogi melakukan perbuatan yang tak semestinya ia lakukan, maka ia harus membakar kecemarannya itu hanya lewat jalan Yoga — bukan dengan jalan lainnya, seperti melalui ritus-ritus usang.
Ketaatan pada jalur tertentu yang diikuti, adalah sesuatu yang baik. Masyarakat diajarkan untuk dapat membedakan, mana yang benar dan mana yang salah, bukan karena hal itu untuk menjaga kemurnian Diri Jatinya, akan tetapi oleh karena kemampuan pembeda tersebut amat dibutuhkan guna mengatur prilakunya; atas pemahaman bahwa itu akhirnya memungkinkannya melepas berbagai hal yang melekati.
Karma Yoga
Mungkin ini telah disebutkan, didalam berbagai kitab-kitab ajaran, bahwasanya Nitya-Karma (perbuatan-perbuatan yang ditetapkan sebagai suatu keharusan untuk dilaksanakan) dan Naimitta-Karma (perbuatan-perbuatan yang adakalanya baik untuk dilaksanakan) dapat mensucikan batin. Jadi, mereka termasuk perbuatan baik. Membunuh binatang dan perbuatan sejenisnya adalah buruk; itu merupakan perbuatan buruk (Dosha). Pengakuan-pengakuan terhadap dosa-dosa (Prayaschitta) dianjurkan pelaksanaannya, guna menghilangkan konsekwensi dari kesalahan-kesalahan yang diperbuat. Oleh karenanyalah, Prayaschitta merupakan suatu yang bermanfaat (Guna).
Bagaimana kecemaran dapat dimusnahkan melalui Yoga dan bukan melalui Prayaschitta? Itulah sebabnya mengapa disebutkan adanya perbuatan yang baik dan bermanfaat bagi batin (Guna) dan buruk (Dosha), melalui perintah-perintah dan larangan-larangan, sebagai aturan mainnya.
Manfaat daripadanya adalah, guna menanamkan pengertian bahwa pada hakekatnya kecemaran-kecemaran manusia, bukanlah merupakan hasil dari kecenderungan-kecenderungannya . Manusia menjadi cemar karena adanya tendensi serta dorongan alaminya. Adalah tidak mungkin bagi-nya, untuk serta merta, memiliki keseganan dalam melakukan berbagai perbuatan. Oleh karenanyalah diajarkan untuk ‘melakukan ini’, ‘jangan lakukan itu’ — perintah-perintah dan larangan-larangan hanyalah untuk membatasinya menuju kemunduran batiniah, dan dengan demikian mereka digiring pada kecenderungan berbuat baik. Para Yogi tak memiliki kecenderungan. Jadi, aturan-aturan main yang termaktub didalam Prayaschitta, bukan diperuntukkan bagi mereka.
Bhakti Yoga
Ia yang memiliki keyakinan dengan penuh hormat (ta’zim) terhadap semua yang disebutkan tentang Tuhan dan merasa enggan dalam berbuat (melaksanakan Karma Yoga – pent), ia yang mengetahui bahwa berbagai bentuk kenafsuan identik dengan kesengsaraan, akan tetapi masih belum berhasil meniadakannya,– mesti memuja Tuhan dengan tulus dan penuh kesungguhan serta keyakinan yang teguh. Walaupun masih memuaskan kenafsuannya, ia tak boleh memiliki kelekatan padanya, dengan memahami bahwa mereka mengantarkannya pada kesengsaraan – di penghujungnya.
Mereka yang secara konstan menyembah Tuhan melalui Bhakti Yoga, bisa mengahancurkan semua nafsu keinginannya, bersamaan dengan terlingkupinya batin mereka dalam Tuhan. Perbudakanpun hancur, semua keragu-raguan sirna, akumulasi semua perbuatan berangsur-angsur hilang tatkala Tuhan menampakan Diri-Nya.
Sang Bhakta-pun dengan cepat mencapai apa yang ia harapkan seperti: Swarga, Kerajaan Allah atau bahkan Moksha, bila ia benar-benar menginginkannya. Akan tetapi para Bhakta yang semata-mata setia kepada-Nya, tak menginginkan apa-apa — walaupun ia ditawari oleh-Nya — tidak juga kebebasan akhir. Mereka berada diluar Guna dan Dosha.
___________________________
Last Updated: Mon Jan 31, 2000
Interpreted by: anatta-bali.


